Pembelajaran
Yang Belum Selesai Dari Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan
Pada bulan Oktober berdasarkan data Global Forest Watch Fire
jumlah hotspot sekitar 358.099 hotspot, dengan pola peningkatan jumlah dari
Juli sampai minggu ketiga September 2019. Kalkulasi ini menggunakan data dari
NASA Fire Information for Resource Management Sytem (FIRMS). Diperkirakan 20%
kebakaran hutan dan lahan ini terjadi di luar konsesi dan sisanya terdapat di lahan
konsesi baik konsesi HPH, HTI dan perkebunan sawit.
Telah banyak kajian yang dilakukan untuk kebakaran hutan dan
lahan, misalnya beberapa kajian atas kebakaran besar di tahun 1997-1998 dan
juga kajian atas kebakaran hutan tahun
2015. Kajian tentang kebakaran 1997/1998 yang misalnya memberikan rekomendasi
tentang perlu-nya koordinasi antar kelembagaan terkait, selain itu rekomendasi
untuk menyusun tools untuk pemantauan resiko kebakaran dimana kedua rekomendasi
tersebut sudah dijalankan. Beberapa rekomendasi lain adalah mengkaitkan resiko
kebakaran dengan pengaturan perijinan sector kehutanan dan perkebunan serta
upaya peringatan dini.
Citra Satelit menunjukkan bahwa kebakaran hutan terjadi pada
kawasan tanah gambut dan sebagian kawasan tanah mineral. Kebakaran juga terjadi
pada kawasan hutan dan kawasan konsesi seperti HTI dan konsesi perkebunan. Pola
kebakaran ini sama dengan tahun-tahun sebelumnya dengan wilayah yang terbakar
terfokus pada beberapa wilayah seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan,
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Pembelajaran Yang Belum Selesai
Hutan hujan tropis merupakan salah satu jenis hutan yang sebenarnya
sulit terbakar secara alami, apalagi jika kawasan tersebut adalah hutan primer
dengan beberapa tajuk pohon lebih dari 40 meter yang menyebabkan wilayah di
bawah tajuk akan selalu lembab. Sementara itu gambut juga sulit terbakar jika
tidak dikeringkan, karena wilayah gambut pada dasarnya adalah ekosistem basah
yang akan sulit terbakar jika dalam kondisi alami. Ada banyak kajian ilmiah
yang dapat digunakan untuk membantu mitigasi kebakaran hutan, misalnya riset
mengenai iklim, termasuk pola-pola iklim
el-nino yang menyebabkan kemarau berkepanjangan. Selaian itu riset
tentang tipe-tipe hutan dikaitkan dengan kemudahan terbakar dan tipe vegetasi
dikaitkan dengan kemudahan terbakar pada kondisi musim kemarau atau kemarau
panjang. Beberapa riset lain bukan hanya hanya aspek fisik tetapi sosial dan
ekonomi misalnya menyebutkan keterkaitan antara wilayah terbakar dengan
penggunaan lahan, dimana beberapa wilayah hutan yang terbakar misalnya sangat
erat dengan praktek pembukaan lahan untuk kegiatan perkebunan.
Pada tahun 1997/1998 terjadi kebakaran hebat di Indonesia
dengan total wilayah terbakar sekitar 9,7 juta hektar berdasarkan estimasi
Bappenas. Pada masa itu diperkirakan kebakaran terjadi di 176 lokasi yang
merupakan konsesi perkebunan sawit, HTI dan wilayah pertanian transmigrasi.
Kerugian kebakaran hutan di tahun 1997/1998 dilakukan oleh banyak pihak, salah
satu nya Bappenas yang bekerjasama dengan ADB memperkirakan total kerugian
mencapai 9,3 miliar dollar. Pada tahun
2015 terjadi kebakaran seluas 2,6 juta hektar dengan tersangka sekitar 63
perusahaan dengan total kerugian diperkirakan 210 triliun. Pada tahun 2015 terjadi
kebakaran dikawasan konsesi dimana kejadian 2015 diproses oleh Kementrian
dengan tuntutan ganti kerugian 3,15 triliun sedangkan yang sudah terbayarkan
78,5 milliar. Tahun 2019 sampai Oktober terbakar 328 ribu hektar dengan
tersangka 52 perusahaan diantaranya 14 perusahaan asing.
Belajar dari Kebakaran Hutan Sebelumnya
Faktor iklim merupakan salah satu yang perlu diperhatikan,
BMKG sejak akhir tahun 2018 telah mengeluarkan rilis akan potensi el nino di
tahun 2019. BMKG misalnya merilis bahwa pengaruh el nino akan terasa sampai
bulan Juli 2019 dimana akan terjadi kemarau yang panjang serta Juli-September
2019 iklim akan lebih kering dari pada tahun biasanya. Diperkirakan BMKG bahwa
25,5 persen wilayah berpotensi mengalami musim kemarau lebih maju, dan 24
persen wilayah berpotensi mengalami musim kemarau di atas normal.
Menteri LHK juga mengantisipasi dengan menyurati Gubernur
mengenai antisipasi ini (Mongabay, 14 januari 2014). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
juga sudah mengetahui resiko ini dan melakukan antisipasi misalnya dengan
meningkatkan pengawasan misalnya melaluii kegiatan yang dilakukan Manggala
Agni. Sayangnya keluhan dari Daerah Operasi BPPIKHL antara lain kekurangan
personil untuk melakukan pengawasan di wilayah yang cukup luas di seluruh
Indonesia. Pada wilayah Riau (Kompas, 12 Nov, 2018) disebutkan bahwa satu
personil meng-cover 72.926 hektar, sesuatu yang sangat kurang.
Pengaruh el-nino atas kejadian kebaranan hutan sebenarnya
bukan hal baru untuk diketahui, dimana pada tahun 1997-1998 serta tahun 2015,
kejadian kebakaran hutan besar terjadi pada saat terjadi fenomena iklim
el-nino. Sayangnya informasi el-nino belum dijadikan sebagai dasar dalam
pengambilan kebijakan secara menyeluruh, misalnya apakah unit seperti KPH,
Kabupaten atau Provinsi sudah melakukan tindakan preventif dikaitkan dengan kejadian
el-nino.
Aspek spatial sangat penting dalam pengambilan kebijakan
terkait kebakaran hutan dan lahan, ketersediaan dan tentunya penggunaan
informasi spatial dalam kebijakan pencegahan dan penanganan kebakaran hutan
sangat penting untuk dilakukan mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten
sampai tingkat operasional. KLHK melalui
webGIS sudah merislis peta kebakaran hutan dan public bisa mengakses format pdf
dari peta kebakaran hutan tahun 2015-2016. Tentunya akan sangat menarik jika
bisa ditampilkan bukan hanya pdf tetapi dalam webGIS dan dapat dioverlay layer
lain termasuk dengan konsesi misalnya, sehingga konsesi bisa menggunakan data
untuk melakukan tindakan ditahun-tahun kedepannya. Melalui aplikasi monitoring
karhutla, KLHK misalnya merilis angka kebakaran hutan pertahun serta
menyediakan informasi titik api dengan
data dari LAPAN. Jika dicermati, wilayah-wilayah seperti Riau, Jambi,
Kalimantan Tengah Beberapa lembaga lain misalnya WRI juga melakukan kegiatan
pemetaan resiko kebakaran hutan dan membuat global forest watch fire untuk
menampilkan titik api serta analisis-nya. WebGIS seperti SiPongi, global forest watch fire
merupakan beberapa system berbasis web yang sangat berguna dan dapat diakses
oleh public terkait dengan kebakaran hutan. Ada baiknya system berbasis web ini
dapat digunakan sampai pada tingkat implementasi kebijakan.Salah satu ide yang
bisa digunakan adalah menyusun sebuah platform berbasis web untuk membangun
system peringatan dini kebakaran hutan. Ini bukan merupakan ide baru, tetapi
perkembangan teknologi serta diskusi pengelolaan hutan diera digital akan
mengarah pada penggunaan platform online.
Pemetaan wilayah terbakar secara time series sangat
diperlukan, BIG dan KLHK misalnya akan menyusun peta rawan kebakaran hutan dan
lahan yang disepakati untuk dilakukan di bulan September. Ini mungkin
belum terlambat, tetapi pertanyaan lebih
lanjut adalah apakah peta ini akan digunakan dalam penyusunan rencana kegiatan
mitigasi kebakaran hutan mulai dari tingkat nasional sampai pada tingkat
kabupaten atau bahkan konsesi? Membangun peta sebenarnya tidaklah cukup sampai
kemudian peta tersebut digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan
kehutanan di Indonesia. Pemetaan juga dapat digunakan dalam kaitan pencegahan,
salah satu rekomendasi berdasarkan perkembangan teknologi adalah dengan
penggunaan drone dalam melakukan kegiatan monitoring dan pemantauan wilayah
yang terindikasi rawan kebakaran.
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia masih akan menjadi
ancaman ditahun-tahun kedepan, penyebab baik vegetasi, ekologi, iklim serta
aspek sosial dan ekonomi bahkan politik telah dikaji berdasarkan pengalaman
karhutla sebelumnya. Demikian pula dengan rekomendasi-rekomendasi pencegahan,
penanganan serta kebutuhan akan koordinasi dan kebijakan telah dirumuskan dalam
kajian sebelumnya. Pertanyaan terbesar adalah apakah kita mau belajar dan terus
memperbaiki diri dalam penanganan bencana karhutla untuk tujuan-tujuan kebaikan
bersama.